Apa Kabar Saudaraku…?

Kemarin, sebuah Run Text terbaca dilayar Televisi. “Perundingan Hamas – Fatah berakhir tanpa adanya kesepakatan”. Tak ingat betul, namun begitu kira-kira bunyinya.

Hamas dan Fatah adalah anak-anak Palestina. Sebuah negara yang didalamnya terdapat Masjid Al Aqsha. Kiblat pertama umat Islam. Tempat dilahirkannya Nabi-Nabi pilihan. Negara yang kini sedang dijajah terang-terangan oleh Israel La’natullah ‘alaih. Tentunya dibawah sokongan dana dari Amerika.

Apa kabar saudara-saudara kita di Palestina sana? Saudara seiman yang sedang bermukim di Gaza, sedang apa mereka saat ini?

Disini, kita menikmati indahnya kemerdekaan. Dengan kedamaian yang senantiasa kita rasakan. Bersama seluruh kenikmatan yang terindah dan semuanya memang sangat mudah.

Disana, sedang apa mereka? Dengan blokade yang dibuat oleh Negara Kera itu. Kumpulan orang Yahudi yang seenaknya mencaplok wilayah negara Palestina. Lantas mengatakan bahwa mereka adalah Negara merdeka sedang Palestina sampai sekarang masih terjajah dan terintimidasi.

Disana, mereka sedang apa?? Dibawah ancaman senjata tajam prajurit yang tak punya naluri kemanusiaan. Tentara yang tak pernah berfikir ulang untuk memuntahkan peluru dengan menarik pelatuk senjatanya. Mengarahkan moncong senjatanya sesuka hati. Orang tua, wanita, anak-anak. Toh, menurut mereka orang-orang Palestina bukanlah manusia yang dengan sesuka hati layak saja dibunuh. Toh peluru yang keluar akan selalu diganti dengan peluru-peluru yang baru dari Amerika. Untuk apa generasi kera itu berfikir ulang?

Disana, apa yang mereka lakukan??? Dingin malam yang hitam pekat menjadi teman karib. Sementara perut melilit hanya diisi dengan paruhan roti sore tadi. Itupun harus berbagi dengan warga sekitar yang juga kelaparan.

Disini, kita berbangga dengan keislaman kita. Seringkali mengucapkan “innamal mukminuna Ikhwah” (sesungguhnya setiap mukmin itu bersaudara). Saudara seperti apa kita? Sementara sedikit do’apun tak pernah mengalir kepada mereka disana.

Disini, kita bergelut dengan khilafiah. Sibuk mengategorikan si Fulan munafik, pelaku bid’ah ataupun sesat. Tak bersitegur antar tetangga, bahkan urung berjamaah karena tak sefaham dengan sang imam.

Teringat dahulu betapa hati ini malu ketika ketika membeli barang-barang unilever. Karena pasti sebagiannya akan tersalur ke Israel. Mungkin saja berupa peluru yang akan bersarang didada saudara kita, muslim Palestina.

Ingatan itu masih lekat, ketika kita memobilisasi massa untuk mengeluarkan puluhan ribu miliknya. Lantas kita salurkan ke Palestina.

Kini, mungkin kita memang begitu mudah untuk lupa. Kita hanya emosi saat Palestina di bombardir dan sesaat kemudian lupa. Kita sibuk berteriak saat televisi menayangkan Palestina terluka dan sesaat kemudian kita lupa.

Jujurlah, rasa malu membeli produk Amerika dan antek-anteknya yang menyumbang ke Israel mungkin sudah tercerabut dalam hati kita. Hingga kita begitu mudah lupa.

Jujurlah, mungkin do’a untuk palestina belum terijabah karena kita masih menganggap biasa dosa-dosa. Padahal bila menumpuk maka ia akan membinasakan. Menganggap sama bunga bank (riba) dengan bagi hasil. Karena memang sekilas tampak sama. Namun Allah akan menempatkan pemakan riba kekal dalam Neraka.

Jujurlah…

Apa kabar saudarku???

Palestina…