Untuk Apa…?

Engkau mengecam,
Semua hal yang membuat semua menjadi kelam.
namun tak membuat orang lain paham
mereka hanya takjub, kemudian bungkam

Engkau memaki,
Semua orang yang membuat anarki
Namun tak membuat satu orangpun mengerti
BUKANKAH YANG KITA BUTUHKAN ADALAH AKSI???

Bergeraklah saudaraku,
Meski hanya menggeser satu buah paku

Aisyah Purnama Daun

Namanya Aisyah. Senang betul ia dipanggil dengan nama itu. Meskipun itu bukanlah nama asli yang diberikan kepadanya sejak ia lahir.

Nama aslinya telah terkubur jauh bersama masa lalunya. Ia yang menguburnya sendiri. Meski tak mudah, tapi perjuangannya mengubur masa lalu itu berhasil. Ya, kini ia dikenal dengan Aisyah.

Aisyah adalah wanita yang cantik. Aisyah juga pintar. Jika masih berlaku gelar kembang desa sekarang, maka ia yang paling berhak menyandangnya. Wajah bersih yang selalu dibalut dengan kain rapi menutup aurat. Ia juga bahagia, bersanding dengan lelaki impian setiap wanita. Lelaki yang sangat berwibawa. Aisyah juga kritis. Itu mengapa ia memilih nama aisyah sebagai sebutan barunya.

Ia menghabiskan waktu dibawah pohon itu. Selalu. Sejak awal kehadirannya dirumah sakit ini. Delapan tahun yang lalu. Menggenggam setiap daun yang mencoba bersujud. Luruh ketanah. Erat. Ia satukan kedua tangannya dengan daun kering ditengah. Dengan tatapan serius menggerak-gerakkan bibir atas dan bawah miliknya yang mungil.

Setiap orang yang melintasi pohon tua itu akan juga melihat serius kearahnya. Setiap hari dia seperti itu dan setiap hari orang yang melintas akan melihatnya. Dia cantik. Pipinya merona merah. Entah para pelintas menikmati kecantikannya, menatap aneh kegiatan yang ia lakukan atau menanti sebuah moment yang juga setiap hari terjadi setelah ia melakukan gerak-geriknya barusan.

Beberapa suster sigap, berdiri tak jauh tapi juga tak dekat darinya. Seakan tahu bahwa sebentar lagi Aisyah akan terlentang jatuh ketanah. Menggelepar dan mengeluarkan buih dari mulutnya. Matanya mengerjap-ngerjap, gerahamnya kaku dan ia akan mengeluarkan jeritan yang kuat.

Suster-suster itu hanya menjauhkan ia dari pohon, memiringkan kepalanya kearah samping agar pernafasannya tidak tersumbat. Dan membiarkan aisyah melakukan aksinya dengan alami. Keringatnya mengucur deras membasahi pakaian putihnya. Dan pada akhirnya ia akan pingsan dan tertidur lelap hampir satu jam.

Aisyah adalah wanita yang indah. Maaf, kita panggil saja ia dengan panggilan kesayangannya. Aisyah. Sebab nama aslinya bukan itu. Tak perlu kita mengembalikan masa yang telah ia rubah dengan sedemikian rupa. Hingga akhirnya ia mampu menjadi aisyah.

Memang, Lanjutkan membaca “Aisyah Purnama Daun”

Ramadhan Terakhir…

ricky02_engraved

Kudengar suara imam membacakan ayat terakhir surat Al Fatihah dan serentak terdengar suara ramai mengaminkan bacaan sang imam bersama para malaikat. Aku masih memarkirkan sepeda motor dihalaman Mesjid ini. Mesjid yang baru kudatangi untuk sholat Tarawih selama Ramadhan 1432 H kali ini.

 

Bergegas namun tidak terburu-buru aku melangkahkan kaki masuk kedalam Mesjid. Mencari shaf yang masih bisa kuisi. Didepanku ada beberapa orang pemuda yang masih terlihat basah dengan air wudhu. Shaf ketiga paling kanan kudapati kosong. Langsung kuambil posisi dengan meluruskan dan merapatkan tubuhku dengan orang yang ada disebelah kiriku.

Saat takbiratul ihram, san imam bertakbir menandakan saat ruku’ telah tiba. Akupun langsung ruku’ dan mengikuti sholat berjamaah seperti biasa. Tanpa menambahkan satu rakaat lagi.

 

Setelah salam, lelaki paruh baya disebelahku menatap wajahku dengan pandangan yang aneh. Entah kenapa, aku ragu. Karena mungkin wajahku jarang terlihat diMesjid inikah? Atau karena dia merasa bahwa raka’at pertamaku kurang sempurna? Atau ada yang tak biasa diwajahku?

 

Entahlah, tak kugubris pertanyaan-pertanyaan yang muncul dihatiku itu. Kurangkai saja malam itu dengan sholat-sholat yang biasa kulakukan dimalam-malam ramadhan. Ba’da Isya, Tarawih dan sholat witir.

 

Pukul 22.50 rangkaian sholat di Mesjid itu selesai, menurutku lebih cepat dari Mesjid-Mesjid lain yang pernah kukunjungi selama Ramadhan tahun ini. Biarlah, toh lain lubuk lain ikannya bukan?

 

Langsung kukendarai sepeda motorku menuju rumah. Setelah sebelumnya bersalaman dan berkelakar dengan beberapa orang yang kukenal.

 

Innalillahi wa inna ilaihi rojiun.

 

Sudah tua sekali memang usianya. Aku sempat memeluknya lama saat suami yang sangat ia cintai meninggalkannya sekitar tiga bulan yang lalu. Ia sedih, namun mencoba untuk menahan semuanya. Segala resah yang ia rasa jauh didalam lubuk hatinya.

 

Ia bertutur bahwa seakan-akan erangan pedih yang sering ia dengar dari sang suami akibat penyakit yang diderita oleh pujaan hatinya itu masih jelas terdengar. Menyebut namanya, memanggil-manggil anaknya tercinta, memegang kuat sekali kepalanya dan menegang-negangkan tubuhnya. Andai rasa itu bisa berbagi, mungkin cinta adalah alas an yang sangat tepat untuk merasakannya berdua.

 

Sepulang aku dari Mesjid, ayahku mengatakan bahwa buyut perempuanku itu meninggal dunia. Buyut Simah, begitu kami biasa memanggilnya. Teringat bahwa semalam sore nenekku bercerita bahwa Buyut Simah itu sudah tak bisa apa-apa lagi. BAB dan BAK sudah ditempat tidur, makan hanya seujung sendok dan lebih banyak minum.

 

Aku bergegas menuju ke rumah duka bersama ayah dan ibuku. Disepanjang jalan, aku teringat akan sebuah ide tulisan yang akan kubuat tentang pentingnya memaknai Ramadhan yang sedang kita jalani. Apalagi memaksimalkannya dengan memotivasi diri bahwa mungkin saja kita tak bertemu dengan Ramadhan tahun ini. Karena bisa saja Ramadhan kali ini menjadi Ramadhan terakhir yang kita jumpai.

 

Bagi Buyut Simah, Ramadhan kali ini benar-benar menjadi ramadhan yang terakhir yang ia temui. Meski ia telah uzur dan sakit-sakitan hingga tak memungkinkan untuk menunaikan kewajiban. Namun aku berharap bahwa Allah menerima segala amal baiknya, mengampuni segala khilaf dan dosa-dosanya, melapangkan kuburnya, menempatkannya ditempat terbaik yang pantas untuknya.

 

Disepuluh Ramadhan, Buyut Simah meninggal. Menyusul cintanya yang telah lebih dulu kesana. Meninggalkan sebuah kenangan betapa cinta mereka masih terawat sangat rapi meski dipenghujung usia. Buyut Simah pernah berkata kepadaku bahwa suaminya, Mbah Rowes-begitu biasa kami memanggilnya-tak pernah marah kepadanya. Selalu bersikap baik padanya dan membuatnya menjadi wanita paling beruntung karena telah dipersuntingnya menjadi orang spesial dalam hatinya.

 

Ah, terbayang satu persatu cerita tentang banyaknya pasangan yang gagal merangkai kisah cinta mereka. Akan aku ingat cerita Buyut Simah tentang Mbah Rowes suaminya.

 

Terakhir, satu hal yang mungkin tak akan pernah aku lupa dari Buyut Simah adalah cara dia mengenaliku. Diusianya, penglihatan sudah tak lagi bisa diharapkan. Diperparah dengan ingatan yang sudah kurang tajam. Selalu ketika bertemu, aku salami dia. Dia pasti akan bertanya dengan logat jawanya yang kental: “iki siopo?” ah, masih ingat sekali aku dengan warna suaranya. Tarikan lemah nafas tuanya. Aku hanya tersenyum, kudekati wajahnya masih dengan senyuman. Lalu kubilang padanya: “diambong ndisek yut.” Sigap tapi lemah dia memegang wajahku dan mengarahkan bibirnya kearah pipi kananku. Pasti, aku yakin sekali kata itu akan dia ucapkan. Dan benar, tak berapa lama setelah kecupan sayang itu berakhir ia berujar: “ooooo….. kidut iki, kidut…!!!” senyumku semakin mengembang. Dan pasti dia menambahkan satu kecupan lagi di pipi kiriku.

 

Note:

Buyut ; panggilan untuk orang tua dari kakek/nenek

Iki siopo : ini siapa?

Diambong ndisek yut : dicium dulu yut

“ooooo….. kidut iki, kidut…!!!” : “ooooo….. kidut ini, kidut…!!!”

Kidut : nama kecil penulis.

Lanjutkan membaca “Ramadhan Terakhir…”

Risalah Rindu

Faghfirlii…

Rabbii…

 

Untuk nikmat mengeja rindu

yang tak layak selain pada-Mu

 

Untuk kisah diLauhul Mahfudz

Cinta untukMu yang mungkin tergerus

 

Aku mencintaiMu

Bukan makhlukMu

 

Harusnya…

 

Aku merinduiMu

Tidak makhlukmu

 

Rabbiii….

Inginku…

 

Rindu ini untuk makhlukMu

Atas cinta hamba padaMu

 

Rabbi…

Faghfirli….

Kritisnya Malaikat…

Seperti yang kita tahu, Malaikat adalah makhluk Allah yang paling taat. Mereka terbuat dari cahaya dan tak memiliki nafsu. Maka setiap manusia yang taat dan mampu mengendalikan nafsunya dalam kehidupan sehari-hari akan bersinar bagai cahaya diantara manusia-manusia lain. Tak jarang juga akan banyak orang yang menjulukinya sebagai malaikat.

Lihatlah orang-orang sholih disekitar kita. Mereka yang tak menganggap diri lebih baik dari orang lain disekitarnya. Mampu menekan hawa nafsu dengan berbagi kepada sesama yang lebih membutuhkan adalah malaikat-malaikat dunia. Mampu mengatur waktu hingga amal-amal tertata rapi. Mendekat kepada Rabb mereka dengan posisi sedekat yang mereka mampu.

Begitulah malaikat-malaikat itu. Mereka melaksanakan semua tugas tanpa banyak bertanya. Taat dengan segala keputusan yang diberikan oleh Allah SWT kepada mereka.

Namun begitu, malaikat pernah menanyakan keputusan Allah untuk menciptakan manusia ke Bumi. Padahal sudah ada mereka, para malaikat yang tunduk dan patuh kepada Allah SWT. Hal ini terekam jelas dalam Al Qur’anul Karim :

 

Al Baqarah ayat 30 :

Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” Mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.”

Beginilah sikap kritis yang diajarkan oleh Allah SWT melalui para malaikat. Tidak ada salahnya memang, untuk menanyakan apa-apa yang kita anggap kurang berkenan. Apalagi bila kita mengetahui beberapa hal yang mungkin saja menjadikan keadaan lebih buruk dari sebelumnya. Seperti para malaikat yang menanyakan keputusan Allah untuk menciptakan manusia yang nantinya akan membuat kerusakan dan menumpahkan darah.

Yang perlu digaris bawahi disini adalah Lanjutkan membaca “Kritisnya Malaikat…”

Apa Kabar Saudaraku…?

Kemarin, sebuah Run Text terbaca dilayar Televisi. “Perundingan Hamas – Fatah berakhir tanpa adanya kesepakatan”. Tak ingat betul, namun begitu kira-kira bunyinya.

Hamas dan Fatah adalah anak-anak Palestina. Sebuah negara yang didalamnya terdapat Masjid Al Aqsha. Kiblat pertama umat Islam. Tempat dilahirkannya Nabi-Nabi pilihan. Negara yang kini sedang dijajah terang-terangan oleh Israel La’natullah ‘alaih. Tentunya dibawah sokongan dana dari Amerika.

Apa kabar saudara-saudara kita di Palestina sana? Saudara seiman yang sedang bermukim di Gaza, sedang apa mereka saat ini?

Disini, kita menikmati indahnya kemerdekaan. Dengan kedamaian yang senantiasa kita rasakan. Bersama seluruh kenikmatan yang terindah dan semuanya memang sangat mudah.

Disana, sedang apa mereka? Dengan blokade yang dibuat oleh Negara Kera itu. Kumpulan orang Yahudi yang seenaknya mencaplok wilayah negara Palestina. Lantas mengatakan bahwa mereka adalah Negara merdeka sedang Palestina sampai sekarang masih terjajah dan terintimidasi.

Disana, mereka sedang apa?? Dibawah ancaman senjata tajam prajurit yang tak punya naluri kemanusiaan. Tentara yang tak pernah berfikir ulang untuk memuntahkan peluru dengan menarik pelatuk senjatanya. Mengarahkan moncong senjatanya sesuka hati. Orang tua, wanita, anak-anak. Toh, menurut mereka orang-orang Palestina bukanlah manusia yang dengan sesuka hati layak saja dibunuh. Toh peluru yang keluar akan selalu diganti dengan peluru-peluru yang baru dari Amerika. Untuk apa generasi kera itu berfikir ulang?

Disana, apa yang mereka lakukan??? Dingin malam yang hitam pekat menjadi teman karib. Sementara perut melilit hanya diisi dengan paruhan roti sore tadi. Itupun harus berbagi dengan warga sekitar yang juga kelaparan.

Disini, kita berbangga dengan keislaman kita. Seringkali mengucapkan “innamal mukminuna Ikhwah” (sesungguhnya setiap mukmin itu bersaudara). Saudara seperti apa kita? Sementara sedikit do’apun tak pernah mengalir kepada mereka disana.

Disini, kita bergelut dengan khilafiah. Sibuk mengategorikan si Fulan munafik, pelaku bid’ah ataupun sesat. Tak bersitegur antar tetangga, bahkan urung berjamaah karena tak sefaham dengan sang imam.

Teringat dahulu betapa hati ini malu ketika ketika membeli barang-barang unilever. Karena pasti sebagiannya akan tersalur ke Israel. Mungkin saja berupa peluru yang akan bersarang didada saudara kita, muslim Palestina.

Ingatan itu masih lekat, ketika kita memobilisasi massa untuk mengeluarkan puluhan ribu miliknya. Lantas kita salurkan ke Palestina.

Kini, mungkin kita memang begitu mudah untuk lupa. Kita hanya emosi saat Palestina di bombardir dan sesaat kemudian lupa. Kita sibuk berteriak saat televisi menayangkan Palestina terluka dan sesaat kemudian kita lupa.

Jujurlah, rasa malu membeli produk Amerika dan antek-anteknya yang menyumbang ke Israel mungkin sudah tercerabut dalam hati kita. Hingga kita begitu mudah lupa.

Jujurlah, mungkin do’a untuk palestina belum terijabah karena kita masih menganggap biasa dosa-dosa. Padahal bila menumpuk maka ia akan membinasakan. Menganggap sama bunga bank (riba) dengan bagi hasil. Karena memang sekilas tampak sama. Namun Allah akan menempatkan pemakan riba kekal dalam Neraka.

Jujurlah…

Apa kabar saudarku???

Palestina…

Ukhuwah

Ukhuwah…
Malam ini kueja kembali kata itu. Kata yang terangkai indah menebar semerbak mewangi peradaban. Kata yang meninggi agung, menerobos batas-batas kokoh ikatan rahim dan mengikatnya dalam jalinan teramat erat pada naungan aqidah. Sungguh, ia adalah kekuatan maha dahsyat yang menentramkan dalam kegelisahan musuh-musuh.
Ia masuk, menelusup dalam pikiran utama tentang kejayaan umat Lanjutkan membaca “Ukhuwah”

Malu ku pada-Mu

Benarkah ini rindu…
Bila ia ternanti ‘tuk bertemu
Dan menyebut tanpa jemu

Dan

Apakah ini cinta…
Membuncah rasa berjuta
Cemas asa meronta

Aku ragu pada rindu dan cintaku
Benarkah aku begitu
padaMu

aku malu
pada rindu dan cintaMu untukku

dengan maksiat yang terus ternikmati
berharap di syurga yang tertinggi

padaMu
aku malu…

Mengatur Perencanaan Keuangan Pribadi

Hi para pembaca blog, Mari kita Mengatur Perencanaan Keuangan Pribadi secara GRATIS, sehingga bisa mengatur keuangan pribadi menjadi jauh lebih baik dan bertumbuh semakin sejahtera. segera kunjungi http://www.tdwclub.com/mengatur-keuangan beberapa hal yang bisa kita dapatkan ketika melakukan analisa ini di tdwclub.com adalah kita bisa mengetahui posisi keuangan kita saat ini sudah sampai mana. karena tanpa mengetahui posisi kita dimana yang sebenarnya, menggunakan peta secanggih apapun untuk mencapai impain anda sama saja tidak ada gunanya. Kedua dengan mengetahui posisi keuangan kita disini, akan jauh lebih realistik dalam membuat peta perjalanan keuangan anda. karena anda sudah tau betul sejauh mana dan secepat anda bisa melaju. Nah masih banyak hal lain lagi yang bisa anda pelajari, segera kunjungi dan dapatkan manfaat dari program komplimen dari tdwclub.com