Kudengar suara imam membacakan ayat terakhir surat Al Fatihah dan serentak terdengar suara ramai mengaminkan bacaan sang imam bersama para malaikat. Aku masih memarkirkan sepeda motor dihalaman Mesjid ini. Mesjid yang baru kudatangi untuk sholat Tarawih selama Ramadhan 1432 H kali ini.
Saat takbiratul ihram, san imam bertakbir menandakan saat ruku’ telah tiba. Akupun langsung ruku’ dan mengikuti sholat berjamaah seperti biasa. Tanpa menambahkan satu rakaat lagi.
Setelah salam, lelaki paruh baya disebelahku menatap wajahku dengan pandangan yang aneh. Entah kenapa, aku ragu. Karena mungkin wajahku jarang terlihat diMesjid inikah? Atau karena dia merasa bahwa raka’at pertamaku kurang sempurna? Atau ada yang tak biasa diwajahku?
Entahlah, tak kugubris pertanyaan-pertanyaan yang muncul dihatiku itu. Kurangkai saja malam itu dengan sholat-sholat yang biasa kulakukan dimalam-malam ramadhan. Ba’da Isya, Tarawih dan sholat witir.
Pukul 22.50 rangkaian sholat di Mesjid itu selesai, menurutku lebih cepat dari Mesjid-Mesjid lain yang pernah kukunjungi selama Ramadhan tahun ini. Biarlah, toh lain lubuk lain ikannya bukan?
Langsung kukendarai sepeda motorku menuju rumah. Setelah sebelumnya bersalaman dan berkelakar dengan beberapa orang yang kukenal.
Innalillahi wa inna ilaihi rojiun.
Sudah tua sekali memang usianya. Aku sempat memeluknya lama saat suami yang sangat ia cintai meninggalkannya sekitar tiga bulan yang lalu. Ia sedih, namun mencoba untuk menahan semuanya. Segala resah yang ia rasa jauh didalam lubuk hatinya.
Ia bertutur bahwa seakan-akan erangan pedih yang sering ia dengar dari sang suami akibat penyakit yang diderita oleh pujaan hatinya itu masih jelas terdengar. Menyebut namanya, memanggil-manggil anaknya tercinta, memegang kuat sekali kepalanya dan menegang-negangkan tubuhnya. Andai rasa itu bisa berbagi, mungkin cinta adalah alas an yang sangat tepat untuk merasakannya berdua.
Sepulang aku dari Mesjid, ayahku mengatakan bahwa buyut perempuanku itu meninggal dunia. Buyut Simah, begitu kami biasa memanggilnya. Teringat bahwa semalam sore nenekku bercerita bahwa Buyut Simah itu sudah tak bisa apa-apa lagi. BAB dan BAK sudah ditempat tidur, makan hanya seujung sendok dan lebih banyak minum.
Aku bergegas menuju ke rumah duka bersama ayah dan ibuku. Disepanjang jalan, aku teringat akan sebuah ide tulisan yang akan kubuat tentang pentingnya memaknai Ramadhan yang sedang kita jalani. Apalagi memaksimalkannya dengan memotivasi diri bahwa mungkin saja kita tak bertemu dengan Ramadhan tahun ini. Karena bisa saja Ramadhan kali ini menjadi Ramadhan terakhir yang kita jumpai.
Bagi Buyut Simah, Ramadhan kali ini benar-benar menjadi ramadhan yang terakhir yang ia temui. Meski ia telah uzur dan sakit-sakitan hingga tak memungkinkan untuk menunaikan kewajiban. Namun aku berharap bahwa Allah menerima segala amal baiknya, mengampuni segala khilaf dan dosa-dosanya, melapangkan kuburnya, menempatkannya ditempat terbaik yang pantas untuknya.
Disepuluh Ramadhan, Buyut Simah meninggal. Menyusul cintanya yang telah lebih dulu kesana. Meninggalkan sebuah kenangan betapa cinta mereka masih terawat sangat rapi meski dipenghujung usia. Buyut Simah pernah berkata kepadaku bahwa suaminya, Mbah Rowes-begitu biasa kami memanggilnya-tak pernah marah kepadanya. Selalu bersikap baik padanya dan membuatnya menjadi wanita paling beruntung karena telah dipersuntingnya menjadi orang spesial dalam hatinya.
Ah, terbayang satu persatu cerita tentang banyaknya pasangan yang gagal merangkai kisah cinta mereka. Akan aku ingat cerita Buyut Simah tentang Mbah Rowes suaminya.
Terakhir, satu hal yang mungkin tak akan pernah aku lupa dari Buyut Simah adalah cara dia mengenaliku. Diusianya, penglihatan sudah tak lagi bisa diharapkan. Diperparah dengan ingatan yang sudah kurang tajam. Selalu ketika bertemu, aku salami dia. Dia pasti akan bertanya dengan logat jawanya yang kental: “iki siopo?” ah, masih ingat sekali aku dengan warna suaranya. Tarikan lemah nafas tuanya. Aku hanya tersenyum, kudekati wajahnya masih dengan senyuman. Lalu kubilang padanya: “diambong ndisek yut.” Sigap tapi lemah dia memegang wajahku dan mengarahkan bibirnya kearah pipi kananku. Pasti, aku yakin sekali kata itu akan dia ucapkan. Dan benar, tak berapa lama setelah kecupan sayang itu berakhir ia berujar: “ooooo….. kidut iki, kidut…!!!” senyumku semakin mengembang. Dan pasti dia menambahkan satu kecupan lagi di pipi kiriku.
Note:
Buyut ; panggilan untuk orang tua dari kakek/nenek
Iki siopo : ini siapa?
Diambong ndisek yut : dicium dulu yut
“ooooo….. kidut iki, kidut…!!!” : “ooooo….. kidut ini, kidut…!!!”
Kidut : nama kecil penulis.